Ramai di pemberitaan mengenai pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, baik pada skala nasional maupun internasional. Di Indonesia sendiri, telah terjadi aksi damai pada 11 Mei lalu terkait penolakan atas putusan Trump dengan mengusung “Indonesia Bebaskan Baitul Maqdis”. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang menyebabkan pemindahaan kedubes AS dan bagaimana sejarahnya? Apa dampaknya jika hal tersebut terjadi dan bagaimana respon dunia internasional terkait peristiwa ini? berikut akan kami coba untuk ulas lebih dalam terkait peristiwa pemindahan kedutaan AS oleh Presiden Trump.
Isu ini pertama kali diusung oleh Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson sekitar satu pekan sebelum pidato Trump. Dunia internasional—termasuk Indonesia—pun ramai-ramai menolak keputusan ini. Padahal, menurut Tillerson, Trump pasti akan memenuhi janjinya; yang masih menjadi masalah pada saat itu hanyalah waktu dan caranya. Hingga pada 6 Desember waktu setempat, Trump pun mengumumkan keputusannya untuk memindahkan kedutaan besar Gedung Putih, Washington DC. Dalam pidatonya, Trump bahkan menyatakan tindakannya, “tidak kurang dan tidak lebih, sebagai pengakuan atas kebenaran.” Ia bahkan menyatakan tindakan ini sebagai pendekatan baru dalam upaya pendamaian konflik berkepanjangan Israel-Palestina. Namun di sisi lain, hal ini pula dimaknai sebagai pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Namun, sebenarnya Israel sudah mengakui Yerusalem sebagai ibu kotanya sejak Presiden Truman yang mengepalai AS di masa itu mengakui kemerdekaan Israel. Mengapa tidak dengan dunia internasional? Israel merdeka pada tahun 1948 ketika Yerusalem masih menjadi kota yang membagi Israel dan Yordania, hingga Israel menguasai Yerusalem timur dan West Bank pada tahun 1967. Ketika pada tahun 1980 Israel berhasil mengambil alih Yerusalem timur secara utuh, negara-negara menarik kedutaannya sebagai bentuk protes. Mereka percaya bahwa Yerusalem timur seharusnya menjadi ibu kota Palestina yang merdeka di masa mendatang. Di sisi lain, AS menempatkan kedutaannya di Tel Aviv.
Pada tahun 1995, AS mengesahkan Undang-undang Kedutaan Israel yang mendorong pemerintah federal untuk melakukan pemindahan kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem. Namun selama ini, presiden-presiden yang pernah menjabat tidak mengindahkan undang-undang tersebut dengan mengeluarkan Hukum Waiver, lantaran khawatir akan terancamnya keamanan nasional. Hukum Waiver dianggap dapat mengekskalasi upaya perdamaian Israel-Palestina, meskipun pada nyatanya tidak berdampak apa-apa. Trump, di sisi lain, menjanjikan pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem dalam masa kampanyenya—dan janji itu rupanya ia tepati pada 6 Desember silam.
Mengapa sekarang? Ronen Bergman, penulis buku “Rise and Kill First” dan salah satu kontributor Majalah “The NY Times”, berpendapat bahwa Trump melakukannya atas tekanan dari kelompok ultra sayap kanan. Tekanan tersebut hadir karena janjinya semasa kampanye dan Trump juga ingin menunjukkan bahwa jika dari perspektifnya, pemindahan kedutaan tersebut merupakan hal yang mudah dilakukan secara taktis.
Meski begitu, tentu ada konsekuensi yang harus ditanggung dari keputusan Trump tersebut. Juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan bahwa pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel ini dapat menyebabkan ketidakstabilan proses perdamaian di Timur Tengah. Duta Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) untuk AS Husam Zomlot bahkan menyebut tindakan tersebut sebagai “the kiss of death” atau ciuman kematian bagi solusi dua negara Israel-Palestina, karena Yerusalem merupakan kunci dari dua negara tersebut. Selama ini, dunia menganggap bahwa solusi dua-negara atau two-state solution bagi Israel-Palestina ialah melalui negosiasi-negosiasi damai. Tindakan AS, dalam hal ini mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, merupakan gerbang dari kecondongan AS kepada Israel. Hal ini tentu merusak kepercayaan masyarakat internasional kepada AS selaku mediator dari kedua negara tersebut.
Pemindahan kedutaan ini tentu mengundang pro dan kontra dari banyak pihak. Berbagai tanggapan dan tindakan pun disampaikan, temasuk di dalamnya kebijakan Dewan Keamanan PBB serta tanggapan dan kebijakan dari negara-negara lain sebagai masyarakat internasional. Dimulai dengan ditolaknya draf resolusi PBB Israel-Palestina yang diajukan Mesir, pemberian hak veto ini mengundang banyak kecaman. Pada bulan Desember 2017, diinisiasi oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dunia, para pemimpin yang bersidang di Istanbul menyerukan pengakuan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. OKI menolak dan mengutuk keputusan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa seluruh Yerusalem adalah wilayah Israel. Itu adalah pelanggaran hukum internasional dan dapat memicu protes dari umat muslim sedunia. Hal tersebut juga akan menciptakan ketidakstabilan di kawasan dan di dunia. Dari pernyataan ini, seseorang dapat menyimpulkan bahwa negara-negara Islam, termasuk negara-negara Arab, bersedia mengakui bagian barat Yerusalem sebagai ibu kota Israel—bersama dengan pengakuan paralel dari bagian timur kota sebagai ibu kota negara Palestina di masa mendatang.
Kementerian Luar Negeri Moskow juga mengumumkan bahwa Rusia mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel dan timur harus menjadi ibu kota negara Palestina di masa depan. Perwakilan tinggi Uni Eropa untuk urusan luar negeri dan kebijakan keamanan, Federica Mogherini menyatakan bahwa kota itu harus berfungsi baik sebagai ibu kota Israel dan Palestina, sebagai tanggapan terhadap deklarasi Trump di Yerusalem. Liga Arab dan Uni Eropa pun menyatakan pada bulan Februari, bahwa Yerusalem harus menjadi ibu kota gabungan Israel dan negara Palestina di masa depan.
Dengan pembukaan kedutaannya di Yerusalem timur, Amerika Serikat akan memutuskan ‘tali pusar’ yang menghubungkan status Yerusalem di bawah hukum internasional dan Resolusi PBB yang didukung 15 negara, dengan syarat perjanjian permanen antara Israel dan Palestina. Terlebih lagi, Keputusan Trump ini bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS selama tujuh dekade terakhir terkait status Yerusalem.
Begitu pula Jerman yang pada April 2018 menyatakan bahwa setiap negara berhak menetapkan ibu kota dalam wilayahnya masing-masing, namun tidak dengan Yerusalem. Niels Annen, seorang menteri negara di Kementerian Luar Negeri Jerman mengeluarkan pernyataan sebagai tanggapan atas pertanyaan oleh seorang anggota parlemen dari Alternatif sayap kanan untuk partai Jerman. Annen mengutip Hukum Dasar Israel 1980: Israel mengklaim Yerusalem secara keutuhan—barat dan timur—sebagai ibu kotanya pada tahun 1967. Namun, hal ini bukanlah bagian dari kedaulatan Israel. Pengakuan sepihak ini menyalahi hukum internasional. Jerman, salah satunya, tidak mengakui deklarasi ini.
Dalam tanggapan tertulisnya, Annen mengutip Resolusi Dewan Keamanan PBB 478 yang pada tahun 1980 memproklamasikan bahwa deklarasi Israel terkait Yerusalem sebagai ibu kotanya merupakan pelanggaran hukum internasional. Menurutnya, hal ini hanya dapat diselesaikan dengan jalan negosiasi agar tahan lama dan dapat diterima
Begitu juga Kanselir Angela Merkel yang mengeluarkan argumen yang sama dalam wawancara dengan Channel 10 Israel. Ia menegaskan kembali bahwa Berlin tidak akan memindahkan kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Di Turki, Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu mengatakan, keputusan tersebut sebagai tindakan yang “tidak bertanggung jawab”. Keputusan tersebut bertentangan dengan hukum internasional dan resolusi-resolusi PBB terkait. Negara-negara Liga Arab juga mulai mempertanyakan kedudukan AS sebagai mediator yang pada kenyataannya condong kepada Israel.
Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab telah dilaksanakan di King Abdulaziz Center for World Culture, Dhahran, Arab Saudi pada 15 April 2018. Diadakannya KTT yang diikuti 22 negara Liga Arab diartikan sebagai bentuk penolakan atas kebijakan Trump ini. Perpindahan kedutaan besar oleh Presiden AS Donald Trump telah memicu kemarahan yang mendalam di seluruh Arab, dunia, dan khususnya penduduk Palestina, yang melihat Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka di masa mendatang. Namun, KTT Liga Arab ini masih menghasilkan lebih banyak retorika daripada tindakan. Menyikapi pernyataan itu, Menteri Luar Negeri Palestina Riad Malki mengungkapkan bahwa surat-surat resmi akan dikirim ke Arab Saudi, Ketua KTT Liga Arab, dan Sekretariat Jenderal Liga Arab untuk menyerukan langkah-langkah sikron demi terlaksananya keputusan terkait Palestina.
Sementara itu, Wali Kota Yerusalem Nir Barkat akan menamai alun-alun di dekat lokasi Gedung Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kota Yerusalem sebagai “Alun-Alun Amerika Serikat untuk menghormati Presiden Donald Trump”. Sebagai bentuk terima kasih terhadap Trump, beberapa tempat juga diberi nama dengan nama anggota keluarga Trump.
Sejak zaman dahulu Yerusalem adalah sebuah kota suci dengan peradaban bersejarah bagi tiga kepercayaan, sudah seharusnya tempat ini menjadi suatu tempat yang suci dan damai yang dilindungi oleh PBB. Tidak seharusnya Yerusalem ini berada dibawah suatu kekuasaan yang akan merugikan dan membatasi kebebasan tinggal, perlindungan serta akses peribadatan salah satu golongan masyarakatnya.
Referensi
Ahren, R. (2018). Germany says every state can name capital, but not Jerusalem. Artikel, hlm [daring]. Tersedia di: https://www.timesofisrael.com/germany-says-every-state-can-name-capital-but-not-jerusalem/
Armandhanu, D. (2017). QnA: Kenapa sih Pemindahan Kedubes AS ke Yerusalem jadi Masalah? Reportase, hlm [daring]. Tersedia di: https://kumparan.com/@kumparannews/qna-kenapa-sih-pemindahan-kedubes-as-ke-yerusalem-jadi-masalah [Diakses 14 Mei 2018].
BBC. (2017). Muslim nations urge recognition of East Jerusalem as Palestinian capital. Berita, hlm [daring]. Tersedia di: http://www.bbc.com/news/world-europe-42335751
BBC Indonesia. (2017). Yerusalem ‘ibu kota Israel’: Presiden Jokowi dan para pemimpin dunia kutuk keputusan Trump. Berita, hlm [daring]. Tersedia di: http://www.bbc.com/indonesia/dunia-42261446
CBS News. (2017). Impacts if Trump recognizes Jerusalem as Israel’s capital. Reportase, video [daring]. Tersedia di: https://www.youtube.com/watch?v=JAbKc6BUjRA [Diakses 15 Mei 2018].
Christiastuti, N. (2017). Ini Pidato Lengkap Trump Saat Mengakui Yerusalem Ibu Kota Israel. Berita, hlm [daring]. Tersedia di: https://news.detik.com/internasional/d-3758317/ini-pidato-lengkap-trump-saat-mengakui-yerusalem-ibu-kota-israel [Diakses 15 Mei 2018].
CNN. (2018). US Embassy in Israel shifts to Jerusalem. Reportase, video [daring]. Tersedia di: https://www.youtube.com/watch?v=0Kc6NnUnkGc [Diakses 14 Mei 2018].
CNN Indonesia. (2018). Berawal Subuh Berjemaah, Aksi 115 Berujung Damai. Berita, hlm [daring]. Tersedia di: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180511174831-20-297505/berawal-subuh-berjemaah-aksi-115-berakhir-damai [Diakses 15 Mei 2018].
Eldar, A. (2018). Why US must also open East Jerusalem embassy. Reportase, hlm [daring]. Tersedia di: https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2018/04/israel-us-arab-league-donald-trump-ivanka-trump-jerusalem.html
Elgindy, K. (2018). How the peace process killed the two-state solution. Reportase, hlm [daring]. Tersedia di: https://www.brookings.edu/research/how-the-peace-process-killed-the-two-state-solution/
Gaouette, N. dan Labott, E. (2018). US set to break with tradition and open embassy in Jerusalem. Berita, hlm [daring]. Tersedia di: https://edition.cnn.com/2018/05/13/politics/us-embassy-jerusalem-scenesetter/index.html [Diakses 14 Mei 2018].
Suastha, RD. (2017). Trump Umumkan Pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel Hari Ini. Berita, hlm [daring]. Tersedia di: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20171206063806-120-260433/trump-umumkan-pengakuan-yerusalem-ibu-kota-israel-hari-ini [Diakses 15 Mei 2018].
The New York Times. (2017). Why Is Jerusalem a Controversial Capital? Reportase, video [daring]. Tersedia di: https://www.youtube.com/watch?v=Hi91aDmYI2E [Diakses 15 Mei 2018].
Rilis ini disusun oleh SPICE (Salam Palestine and Internasional Center).
Dokumen dapat diunduh di bawah ini.