“Terjebak pada Fenomena Ramadhan”

Oleh: Rahmalia Rifandini (Wakil Kepala Departemen Al Hikmah
Resource Center FSI FISIP UI 27)

Ramadhan sudah tinggal dalam hitungan jemari, umat Islam mana yang tidak berbahagia mengetahui tamu istimewanya segera datang. Euforia menyambut bulan suci nan berkah pun kini menghiasi penjuru negeri. Seakan tak ingin ketinggalan, tayangan-tayangan iklan di televisi turut menuansakan semarak dalam menyambut Ramadhan. Seperti tayangan iklan dengan ikon sirupnya yang khas, setiap tahun selalu menayangkan suasana berbuka puasa sejak jauh-jauh hari, sehingga iklan sirup tersebut menjadi momentum atau penanda bahwa Ramadhan akan tiba.

Setiap orang tentu memiliki makna tersendiri dalam menyambut kedatangan sang tamu istimewa. Tamu istimewa ini dianggap menjadi momen paling berarti sepanjang tahun, khususnya dalam hubungan dengan Pencipta. Hal ini terlihat dari persiapan yang dilakukan untuk menyambut Ramadhan, misalnya keinginan untuk melakukan ibadah yang lebih baik daripada  sebelumnya,  membuat  daftar  kebaikan  yang  ingin  dilakukan  selama  bulan Ramadhan atau bahkan membuat list masjid yang akan dikunjungi untuk melakukan i’tikaf. Tentunya, semua catatan panjang tentang target keinginan ini berharap dapat dilaksanakan.

Hadirnya tamu istimewa ini juga bukan hanya bermakna bagi umat Islam saja, tetapi juga seluruh umat manusia. Di Indonesia, Ramadhan menghadirkan suasana kultural yang khas sehingga memori kolektif muncul di tengah keragaman masyarakat Indonesia. Memori kolektif muncul sebagai bentuk persepsi orang-orang dalam memaknai Ramadhan dengan melihat fenomena yang sama setiap tahunnya. Pemaknaan tentang suasana Ramadhan kemudian melekat di alam bawah sadar setiap orang.

Hanya di Indonesia ketika hari-hari pertama Ramadhan, sekolah-sekolah negeri meliburkan siswanya, ini dilakukan sebagai perwujudan menyambut bulan suci Ramadhan. Selain itu, hanya di bulan Ramadhan para pedagang cincau dan kolak meraih omset tertinggi dan pemerintah pun dibuat panik ketika harga sembako mengalami inflasi karena tingginya permintaan pasar. Hanya di bulan Ramadhan yang dapat menyatukan jarak sosial anggota keluarga yang berjauhan dan orang-orang yang bermusuhan kembali dekat. Semuanya itu merupakan fenomena yang lazim ditemui ketika sang tamu istimewa ini hadir berkunjung dalam setiap edaran tahun di seluruh penjuru negeri.

Sebagian  besar  umat  Islam  tentu  sudah  mengetahui  bahwa  puasa  merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi yang sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan. Seperti yang diterangkan dalam surah Al Baqarah ayat 183, ayat yang selalu digunakan sebagai landasan dalil dalam menyambut bulan puasa Ramadhan. Artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”.

Dari ayat tersebut terdapat hal yang harus digarisbawahi dan penting untuk dipahami, diterangkan dengan jelas orang yang beriman diwajibkan untuk berpuasa agar bertaqwa yang menunjkkan puasa merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang-orang yang beriman  agar  menjadi  orang  yang  bertaqwa.  Dalam  penggunaan  ayat  ini  seringkali dipaparkan bahwa puasa adalah ibadah yang wajib, namun makna tentang alasan kewajiban puasa sebagai jalan seseorang menuju taqwa jarang dibahas.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan surah Al Baqarah ayat 183, “Karena di dalam ibadah puasa itu terdapat kesucian jiwa dan kebersihannya serta mensterilkan dari kotoran yang buruk dan akhlak yang hina” (Tafsir Ibnu Katsir). Syaikh Abdur Rahman As- Sa’di rahimahullah menjelaskan lebih rinci tentang bentuk ketaqwaan yang diperoleh dari berpuasa, “Sesungguhnya puasa termasuk salah satu sebab terbesar diraihnya ketaqwaan, karena di dalam ibadah puasa terdapat bentuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, yang termasuk dalam cakupan taqwa (dalam ibadah puasa) adalah seorang yang berpuasa meninggalkan perkara yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum, bersetubuh, dan hal lainnya yang disenangi oleh nafsunya, dengan niat mendekatkan dirinya kepada Allah, mengharap pahala-Nya dengan meninggalkan perkara-perkara tersebut, maka ini termasuk bentuk ketaqwaan. Diantara bentuk-bentuk ketaqwaan dari ibadah puasa ini adalah orang yang berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala, sehingga ia meninggalkan sesuatu yang disukai dirinya, padahal ia memiliki kemampuan untuk melakukannya, karena ia meyakini bahwa Allah mengawasinya. Orang yang berpuasa juga berarti menyempitkan jalan-jalan setan dalam tubuhnya, karena setan berjalan dalam diri keturunan Nabi Adam a.s di tempat aliran darah. Maka dengan puasa itu melemahkan kekuatan setan dan menjadi sedikit kemaksiatan karenanya. Diantaranya pula bahwa orang yang berpuasa pada umumnya banyak melakukan ketaatan, sedangkan ketaatan adalah bagian dari ketaqwaan”.

Al-Baghawi rahimahullah juga   menjelaskan   mengapa   dengan   berpuasa   seorang hamba bisa meraih ketakwaan, berkata, “Karena di dalam ibadah puasa itu terdapat pengendalian hawa nafsu dan penundukan syahwat” (Tafsir Al-Baghawi). Adapun tujuan ibadah  puasa  yang  sebenarnya  adalah  untuk  mencapai  derajat  taqwa,  namun  sayangnya ibadah dan kebaikan selama bulan Ramadhan dilakukan, belum mampu melekat pada diri kita. Setiap tahun, puasa Ramadhan selalu ditunaikan, tetapi kesegaran akan nikmat puasa masih terasa kering. Rutinitas ibadah di bulan Ramadhan tidak berbekas di bulan lainnya, dosa dan keburukan diri masih mengotori jiwa, dan akhlak masih jauh dari mulia. Persoalan ini diperoleh karena ibadah-puasa selama Ramadhan hanya mendapat lapar dan haus. Kebanyakan orang memahami puasa sekadar menahan lapar dan haus saja sedangkan hawa nafsu masih sering lupa untuk ditahan. Ketika puasa, masih ada keinginan untuk melakukan ghibah, pikiran untuk membenci orang lain, dan melakukan perbuatan bohong. Kondisi tersebut seringkali menimpa diri kita dan sungguh memprihatinkan bahwa kita belum mampu menundukkan hawa nafsu, selama bulan Ramadhan.

Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak terpuji, maka bagi Allah SWT tidak ada artinya dia meninggalkan makan  dan  minumnya   (percuma  dia  berpuasa).”   (HR.Bukhari  dari  Abu  Hurairah). Rasulullah pun telah menjelaskan bahwa sia-sia ibadah puasa jika belum mampu meninggalkan keburukan. Apabila keburukan masih sering terjadi pada diri kita, maka itu sangat  memperhatinkan.  Artinya  bahwa  kita  belum  memahami  hakikat  dari  berpuasa. Hakikat puasa bukan sekadar menahan hawa  nafsu dari rasa lapar dan haus, melainkan pengendalian diri secara total dengan kendali iman.

Suatu sore di hari Jumat di penghujung Sya’ban, seorang Ustadz sedang memberikan taujih kepada murid-muridnya tentang bulan puasa Ramadhan, sang Ustadz pun berkata “Tiada hal yang paling besar diberikan selain daripada ampunan Allah SWT, karena dari ampunan itulah segala karunia akan dihadirkan oleh Allah SWT”. Para murid pun menyimak dengan  penuh  perhatian  berharap  memahami  benar nasihat  yang disampaikan  oleh sang Ustadz. Perkataan sang Ustadz itu sungguh sederhana namun terkandung hikmah yang patut direnungkan.

Kata  ampunan  dalam  nasihat  ini  menjadi  key  words  bagi  kita  untuk  memahami hakikat   keistimewaan bulan Ramadhan. Sang Ustadz juga menerangkan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan yang dimana didalamnya Allah tidak akan mengecewakan hamba-hambanya. Ketika mungkin di bulan-bulan sebelumnya para hambanya merasa putus harapan, namun di bulan Ramadhan ia dapat berharap dan bangkit dari keputus-asaannya. Pada  bulan  ini  Allah  membuka  tanganNya  selebar-lebarnya  kepada  hambanya  yang memohon ampun dan juga yang bertaubat. Pintu surga pun dibuka dan pintu neraka ditutup sehingga  tidak  ada  sebuah  kemudahan  pengampunan  kecuali  pada  bulan  Ramadhan. Seharusnya kita menitikkan air mata karena kerinduan ingin mendapat jaminan Allah dalam bulan suci ini, karena bulan Ramadhan merupakan Syahrun ‘Aziimun Mubarok yaitu bulan yang agung dan penuh keberkahan.

Rasulullah berkhotbah  menjelang Ramadhan  yang  diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib k.w. Adapun sepenggal khotbah Rasulullah tentang keistimewaan bulan Ramadhan,

’’Wahai manusia sungguh telah datang kepada kalian bulan Allah yang membawa berkah, rahmat dan maghfirah, bulan yang paling mulia disisi Allah. Hari-harinya adalah hari yang utama. Malam-malam di bulan Ramadhan adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam yang paling utama. Inilah bulan yang ketika engkau diundang menjadi tetamu Allah dan dimuliakan olehNya. Pada bulan ini nafasmu menjadi tasbih, tidurmu menjadi ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah, Rabbmu dengan hati yang tulus dan hati yang suci agar Allah memimbingmu untuk melakukan shaum dan membaca kitabNya sungguh celaka orang yang tidak mendapatkan ampunan Allah pada bulan yang Agung ini. Kenanglah rasa lapar dan hausmu sebagaimana  kelaparan  dan  kehausan  pada  hari  Kiamat  bersedekahlah  kepada  kaum Fuqara dan Masakin. Muliakanlah orangtuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraan. Jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya, dan tahan pula pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihanilah anak-anak yatim, niscaya anak yatim akan dikasihani manusia. Bertaubatlah  kepada  Allah  dari  dosa-dosamu.  Angkatlah  tangan-tanganmu  di  waktu shalatmu karena saat itulah saat yang paling utama ketika Allah Azza Wa Jalla memandang wajah   para   hambanya  dengan   penuh   kasih   sayang.

 Dia   menjawab   ketika   mereka menyeruNya, Ia menyambut ketika mereka memanggilNya, dan Dia mengabulkan doa-doa ketika bermunajat kepadaNya. Wahai manusia sesungguhnya diri kalian tergadai karena amal-amal kalian, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban dosamu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu, Ketahuilah Allah SWT bersumpah dengan segala kebesaranNya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang bersujud, tidak mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri dihadapan Rabbul Alamiin. Wahai manusia barangsiapa diantaramu memberikan makan orang untuk berbuka kepada kaum mukmin yang melaksanakan shaum di bulan ini, maka disisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. Para Sahabat bertanya, ’’Kami semua tidak akan mampu berbuat demikian“, lalu Rasulullah SAW melanjutkan khutbahnya, ’’Jagalah diri kalian dari api neraka walau hanya dengan sebiji kurma, jagalah diri kalian dari api neraka walau hanya setitik air. Wahai manusia barangsiapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini dia akan berhasil melewati sirathal mustaqiim pada hari ketika kaki-kaki tergelincir, maka barangsiapa yang meringankan pekerjaan yang dimiliki orang-orang dengan tangan kanannya dan membantunya di bulan ini maka Allah meringankan pemeriksaannya di hari Kiamat, barangsiapa yang menahan kejelekannya di bulan ini Allah akan menahan murkaNya pada hari ketika berjumpa denganNya, barangsiapa yang memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya di hari perjumpaan denganNya dan barangsiapa yang menjalin tali silaturahiim di bulan ini Allah akan menghubungkan dia dengan Rahmat Nya pada hari dia berjumpa denganNya, dan barangsiapa yang memutuskan tali silaturahiim di bulan ini Allah akan memutuskan dia dari RahmatNya. Siapa yang melakukan shalat sunnah di bulan Ramadhan, Allah akan menuliskan baginya dari kebebasan api neraka, barangsiapa yang melakukan shalat fardhu maka baginya ganjaran bagai 70 shalat fardhu yang lain, barangsiapa yang memperbanyak shalawat kepadaKu di bulan ini maka Allah akan memberatkan timbangan di hari timbangan menjadi ringan, dan barangsiapa yang membaca 1 ayat Al Quran maka ganjarannya sama seperti mengkhatamkan Al Quran  di bulan-bulan lain…..“

Sungguh  besar  karunia  Allah  SWT  menganugerahi  bulan  Ramadhan  ini  kepada hamba-hambanya, dan sangat merugi apabila kita tidak benar-benar mesyukuri kehadiran bulan Ramadhan. Oleh karena itu semangat euforia menyambut Ramadhan hendaknya juga kita tuangkan kedalam semangat dalam menjalankan ibadah puasa. Fenomena menyambut kehadiran Ramadhan dapat diibaratkan sebagai hiasan ornamen rumah, jangan sampai kita terus sibuk menghiasi rumah dengan ornamen-ornamen dan melupakan esensi dari rumah tersebut. Artinya bahwa kita melupakan kehadiran Ramadhan yang didalamnya ampunan Allah SWT terbuka lebar.

Wallahu a’lam bisshowwab.

Dokumen dapat diunduh di bawah ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.