ArtikelOpiniSM Town

“Separuh dari 1000 Bulan”

Oleh : Novia Maharani

Angka-angka di almanak itu masih dengan rutinnya aku tandai. Seirama dengan aku yang sedang menanti. Angka satu, selesai kucoret. Angka dua, selesai kucoret. Angka tiga, empat, lima, dan begitu seterusnya sampai berakhir di penghujung bulan. Berharap dengan selesainya kalender yang aku coret, saat itu pula aku dapat segera kembali ke rumah.

Bertemu dengan bapak adalah mimpiku. Mimpi yang selama beberapa bulan ke belakang ini hanya bisa kutemui suaranya saja di ujung telepon, dan belum dapat aku wujudkan. Aku sudah dapat membayangkan bagaimana indahnya pulang ke sebuah tempat bernama rumah. Menikmati nasehat-nasehat lagi dari bapak, melaksanakan puasa Ramadhan di kampung halaman, merayakan hari raya dengannya, dan apapun itu asalkan liburan kali ini, jiwa dan ragaku bisa bersamanya. Sebenarnya yang paling kutunggu-tunggu adalah Ramadhan di rumah. Sebab, bapak adalah imam tarawih favoritku yang setiap malam-malam Ramadhan, suaranya selalu menghiasi masjid di kampungku.

Setelah sampai di penghujung bulan mencoret angka-angka, dadaku bergemuruh bahagia, berharap bahwa pertemuan dengan bapak sebentar lagi tiba. Tetapi…tunggu! Aku seperti baru menyadari sebuah hal. Rasa sesak yang tak dapat kumengerti, tiba-tiba hadir menyergap diriku. Aku baru saja ingat, bahwa libur hari raya kali ini tak bisa kurayakan bersama bapak. Ah, bagaimana mungkin aku melupakan hal itu. Jangankan hari raya, bahkan Ramadhan tahun ini saja, aku harus menjalaninya secara penuh di tanah perantauan. Masih terikat dengan tanggung jawab akademisku, juga sidang skripsiku yang harus dilaksanakan tak jauh beberapa hari setelah lebaran tiba. Semua kandas, dan aku pecah kala itu.

Di penghujung malam, aku menelepon bapak. Tangisku tak dapat kubendung lagi alirannya. Kudengar dari kejauhan, aku bagai dapat memandang bagaimana ekspresi bapak saat itu. Masih dengan wajah teduhnya yang selalu membuatku merasa aman. Aku menceritakan segalanya, meluapkan kesedihanku.

“Rasanya berat sekali, Pak. Skripsiku pun bahkan bersamaan waktu berpacunya dengan perlombaan ibadah di bulan Ramadhan. Aku bingung, mana yang harus aku prioritaskan. Keduanya sama berartinya untukku. Ditambah lagi, aku khawatir kalau-kalau ada saat di mana aku kesiangan untuk bangun sahur. Aku juga harus sidang skripsi hanya beberapa hari pasca lebaran.” Keluhku saat itu diiringi dengan isak tangis kepada bapak. Mungkin sebetulnya aku menangis karena tidak bisa pulang ke rumah saat Ramadhan.

“Hmmm…Bapak mengerti rasanya, Nak.” Sahut bapak saat itu, karena aku tahu ia bahkan masih berhati-hati menanggapi pembicaraanku.

Lima menit waktu berselang, hanya ada suara angin. Tak ada pembicaraan dari aku maupun bapak di ujung sana. Aku masih berusaha mengontrol emosiku yang meluap-luap, dan bapak yang masih menungguku untuk melanjutkan keluhan.

“Bapak, apakah ada pesan untukku?” Aku mulai bertanya padanya, ketika sudah dapat kutenangkan diriku di sini.

“Anakku, bagaimana mungkin engkau bersedih? Tak ingatkah engkau dengan pesan gurumu satu tahun yang lalu?”

Aku mengingat-ingat pertanyaan bapak. Pesan apa yang telah disampaikan oleh seorang guru di tahun yang lalu?

“Bukankah membahagiakan untukmu menikmati Ramadhan di sana? Bulan penuh keberkahan itu dipadukan dengan segala kebaikan berupa tanggung jawab akademis. Siang hari, engkau berpuasa, bertilawah, belajar, dan malam harinya engkau mengikat erat cinta bersama-Nya. Semuanya penuh dengan kebaikan. Lalu, apa lagi yang harus engkau keluhkan, Nak?”

“Tahun lalu, engkau bercerita kepada Bapak, bahwa gurumu berkata, ‘belajar itu adalah ibadah, tapi jangan melupakan ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadhan. Cicil belajar sebelum ujian, agar waktu di bulan Ramadhan yang penuh berkah itu dapat kalian maksimalkan’. Maka, engkau tak perlu memilih mana yang lebih penting di antara keduanya, Nak. Jalani keduanya dengan kesungguhan dan sebaik-baiknya usaha yang dapat diberikan. Jadi, untuk di tahun ini persiapkanlah ujian skripsimu dengan sebaik-baiknya. Karena selepas itu berakhir, engkau akan pulang juga ke rumah, kan? Katamu juga…haduh Bapak lupa namanya…hmm kedelai of gratifikasi?”

Delayed of gratification, Pak. Hahaha, menunda suatu hal untuk kebahagiaan yang lebih besar. Seperti kalau kita berpuasa, makan di waktu maghrib itu jadi terasa sangat nikmat.” Jawabku meladeni kelucuan bapak.

“…ah iya, itu. Bukankah menunda kepulanganmu sampai nanti selesai waktu ujianmu selesai, itu akan membuat kebahagiaanmu menjadi semakin berlipat-lipat?” Sambung bapak dengan sangat panjang dan lebar sekali pesannya di hari itu, yang membuatku semakin rindu bertemu dengannya. Aku hanya bisa tersenyum penuh haru di ujung telepon, sebab kebijaksanaan bapak yang begitu apik.

***

Beberapa hari menuju akhir dari Ramadhan, aku mulai mengabarkan kepada bapak tanggal ujian skripsiku yang sudah keluar.

“Semangat, Nak. Bapak terus mendoakan di sini, dan engkau tak perlu khawatir. Bapak juga akan mengirimkan hadiah untuk membuatmu semakin bersemangat menghadapi persiapan sepuluh hari terakhir Ramadhan dan ujianmu.”

“Baik, Pak, terima kasih.”

Tiga hari kemudian, ada suara ketukan pintu di kontrakanku. Sudah dapat kupastikan bahwa itu adalah petugas pengirim paket yang mengirimkan hadiah dari bapak untukku. Saat pintu kubuka, seketika aku tercekat, “Bapak!”

Kebaikan bulan Ramadhan datangnya bertubi-tubi kepadaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.