Klik tombol yang terletak di pojok kanan atas untuk memperbesar versi pdf.
Versi Web
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.
(Hadits Riwayat Muslim)
Peralihan rezim otoriter menuju rezim demokrasi di tahun 1998, membawa harapan baru bagi segenap bangsa dan rakyat Indonesia, bahwa keadaan kehidupan politik dan penegakan hukum di negeri ini akan semakin baik. Pemerintahan baru yang lahir di alam demokrasi diharapkan mampu segera menuntaskan agenda-agenda reformasi yang dituntut oleh seluruh rakyat. Agenda reformasi tersebut, yakni: adili Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945, hapuskan Dwifungsi ABRI, pelaksanaan otonomi seluas-luasnya, tegakkan supremasi hukum, ciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dalam pengertian lain, reformasi telah mengamanatkan negara untuk melakukan pembuatan konstitusi dan aturan baru yang adil dan komprehensif, demokratisasi, desentralisasi, menegakkan supremasi hukum, dan pemerintahan yang akuntabel. Terkhusus dua hal yang disebut terakhir, jika melihat kondisi sekarang, nampaknya masih membutuhkan perjuangan yang besar agar dapat terwujud.
Dalam konteks pemberantasan KKN, semangat menggebu-gebu dari seluruh rakyat Indonesia di awal reformasi, disambut dengan cepat oleh pemerintahan Habibie dengan menetapkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya terdapat perubahan dan ditetapkan sebagai UU No. 20 Tahun 2001. Tidak cukup sampai di situ, negara pun memandang perlu untuk membentuk lembaga khusus yang independen dalam menjalankan tugas dan wewenang terkait pemberantasan korupsi. Maka, dibentuklah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30 Tahun 2002). Lembaga ini akhirnya dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan seperangkat kewenangan yang cukup luas dalam rangka menangani kasus korupsi di Indonesia.
Namun belakangan, pemerintah bersama DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang KPK (17/9) yang terindikasi dengan jelas ditujukan untuk melemahkan lembaga pemberantasan korupsi tersebut. Beberapa pasal yang bermasalah dalam revisi UU KPK, seperti pembentukan Dewan Pengawas di internal KPK (Pasal 37 A-H), kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (Pasal 40), kewajiban untuk mendapat izin penyadapan dari Dewan Pengawas (Pasal 37 B huruf b), pengkategorian KPK sebagai lembaga yang berada di bawah presiden/rumpun eksekutif (Pasal 1 ayat 3), dan perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Negeri Sipil (Pasal 1 ayat 6), tetap disahkan dalam sidang paripurna DPR yang dihadiri tidak lebih dari 2/3 anggotanya. Padahal, dalam pasal-pasal yang dimaksud, terlihat jelas bahwa kewenangan KPK telah dikebiri, independensinya dicabut, dan KPK dipersulit dalam tugasnya untuk menangani kasus-kasus korupsi. Gelombang aksi massa, aksi simpatik, unjuk rasa, penandatanganan petisi #SaveKPK, dan beragam ekspresi ketidaksetujuan lainnya dari segenap rakyat, dosen, akademisi, pegiat antikorupsi, mahasiswa, dan lain-lain, tidak sedikitpun digubris oleh pemerintah dan DPR. Sikap ini jelas menunjukkan pengabaian dari kedua lembaga negara itu terhadap masukan rakyat dan KPK, yang berarti sama dengan tidak demokratis, tidak partisipatif, dan tidak akuntabel.
Selain revisi UU KPK, DPR sedang menggarap dan mengupayakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) baru, yang diklaim sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia saat ini, dan melepaskan diri dari warisan KUHP zaman kolonial Belanda. Namun faktanya, beberapa pasal yang termuat dalam RKUHP justru menunjukkan sifat kolonial dan otoritarianisme. Hal ini nampak dari penghidupan kembali pasal tentang penghinaan lembaga negara, penghinaan terhadap pengadilan (pasal 281), dan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden (pasal 218). Dimasukannya tindak pidana korupsi (pasal 603) dalam RKUHP juga dinilai mengaburkan kekhususan UU Tindak Pidana Korupsi yang berimplikasi pada tumpang tindihnya aturan, sehingga menimbulkan celah hukum bagi para koruptor. Hal ini bisa dilihat dari lebih ringannya hukuman terhadap koruptur yang tercantum dalam RKUHP dibanding UU Tipikor.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka SALAM UI sebagai salah satu dari sekian banyak organisasi mahasiswa yang lahir dari rahim reformasi, menyatakan sikap sebagai berikut.
- Menolak segala bentuk upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
- Mendukung sepenuhnya upaya hukum yang diajukan pihak-pihak tertentu dalam rangka melakukan Judicial Review UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi;
- Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP yang terindikasi rancu, ambigu, mengebiri hak-hak sipil, dan mengesampingkan nilai dan ajaran agama;
- Menuntut penundaan pengesahan RKUHP oleh DPR periode 2014-2019, dan meminta pembahasan ulang terkait pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP oleh DPR periode 2019-2024 yang disesuaikan dengan asas-asas demokratis, penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), sekaligus mengakomodasi nilai-nilai agama, sebelum disahkan.
Melalui pernyataan sikap ini, kami akan senantiasa mengikuti dan mengawal perkembangan rencana tuntutan hukum terkait revisi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi dan pemabahasan RKUHP di DPR sebagai bentuk komitmen kami untuk berkontribusi dalam terciptanya Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur.
Depok, 23 September 2019
Ketua SALAM UI 22,
Ahmad Safei Ridwan