Mengenal Buya Hamka dan Pemikirannya
Pemilik nama lengkap Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka adalah sosok yang dikenal sebagai ulama dengan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang. Beliau lahir di Desa Tanah Sirah pada 16 Februari 1908 atau bertepatan dengan 13 Muharram 1362. Buah pemikiran beliau tercatat dalam karya-karyanya yang meliputi berbagai bidang. Beberapa karya beliau, antara lain Tasawuf modern (1983), Lembaga Budi (1983), Falsafah Hidup (1950), Lembaga Hidup (1962), Tafsir Al-Azhar Juz 1-30, dan Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Haji Amarullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958). Karya-karya Hamka yang sangat bervariasi mencerminkan pemikirannya yang luas dan mendalam terhadap berbagai masalah, terutama tentang keislaman, pendidikan, nasionalisme, dan politik.
Dalam bidang pendidikan, pemikiran Hamka menjadi acuan bagi banyak pihak. Menurut Hamka, tugas seorang pendidik, yaitu sosok yang membantu mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas.Pada dasarnya, sosok pendidik menurut Hamka yang ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan Islam adalah orang tua, guru, dan masyarakat. Adapun pendidik yang baik, menurut Hamka harus memenuhi syarat sekaligus kewajiban sebagai seorang pendidik, yaitu;
- Berlaku adil dan objektif .
- Memelihara akhlak al-karimah, berpenampilan baik dan menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela.
- Menyampaikan seluruh ilmu yang dimiliki, tanpa ada yang ditutup-tutupi.
- Memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan tempat dan waktu, sesuai dengan kemampuan intelektual dan perkembangan jiwa mereka.
- Tidak menjadikan upah atau gaji sebagai alasan utama dalam mengajar peserta didik. ( tanggung jawab kepada baik atau buruknya pekerjaan).
- Menanamkan keberanian budi dalam diri peserta didik yaitu menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri kebenarannya; tidak takut gagal.
Sementara di bidang politik, Pemikiran dan tindakan politik Hamka dibangun atas “kesalingterikatan agama dengan politik dan keleluasaan menentukan format politik yang sesuai tuntutan zaman”. Dengan paradigma tersebut Hamka melakukan sintesis Islam-demokrasi melalui konsep “Demokrasi Taqwa”. Beliau juga menolak tegas ide sekularisme dan komunisme, serta secara umum menerima konsep HAM dan nasionalisme, meski dengan berbagai catatan. Terhadap nasionalisme, Hamka menekankan bahwa pembatasan nilai-nilai kemanusiaan harus ada agar semangat kebangsaan tidak justru membawa kepada penjajahan dan eksploitasi terhadap bangsa lain. Di sisi lain, dalam praktis non-politiknya, beliau berkiprah banyak melalui perannya di Majelis Seni Budaya Islam (MASBI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia pun turut andil dalam penyebaran ide Moh. Hatta di “Demokrasi Kita” (1960) melalui majalah Pandji Masyarakat sebagai kritik terhadap pemerintah yang tidak demokratis.
Pemikiran-pemikiran cemerlang dan perjuangan Hamka dalam bidang keislaman, pendidikan, nasionalisme, dan politik patut dijadikan tauladan. Dalam salah satu karyanya, Pustaka Panjimas (1990), Hamka menulis “Nahkoda yang baik bukanlah yang pandai mengemudikan kapal, tapi yang mengetahui rahasia lautan”. Kalimat ini menyiratkan bahwa dalam menuntut ilmu maupun dalam kehidupan yang diperlukan bukanlah permukaannya saja. Namun pengetahuan yang luas dan dalamlah yang akan menjadikan kita pribadi yang lebih bijaksana.
Referensi
Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul Al-Tarbiyat Al-Islamiyat Wa Asalibuha, (Damsyik, Dar al-Fikr, 1983).
Fata, Ahmad. 2020. Pemikiran dan Peran Politik Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). [Disertasi] Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), hlm. 65.
Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005).