“Maghrib di Ujung Karpet”

Oleh : Aldila Azam

Matahari hampir berada di tengah kepala saat pemuda itu berjalan menyusuri trotoar sepi di sebuah komplek perumahan. Di samping kanannya, sebuah selokan besar memancarkan warna hijau tak meniru warna langit yang biru sebiru samudra luas. Menguap bau selokan itu menyengat hidung si pemuda berambut keriting bertubuh kurus kering.

Setelah satu kilo ia berjalan, sampailah ia di penghujung trotoar. Tampak di kanannya ada bangunan putih besar berkubah perak kusam. Ia hampiri bangunan itu melewati jembatan kayu kecil dan semak belukar yang tampak dipotong sedikit menyerupai gerbang menuju alam lain. Batu-batu trotoar di alam ini tampak beda dengan batu trotoar di luar gerbang. Jika trotoar di luar dengan jayanya melawan kodrat alam dengan cat warna hitam putihnya, trotoar menuju bangunan itu kalah tinggi dengan rumput di sekitarnya.

Dari luar semak orang tidak akan tahu apa bangunan itu jika ia tidak terbiasa ke sana. Namun apabila sudah melewati semak, setiap orang yang bisa menengok ke kiri akan dapat melihat tulisan besar terpajang pada batu keramik ‘Masjid Al Fath’. Apabila berjalan lagi sepuluh meter, sampailah kita pada tempat wudhu bertempelkan tulisan ‘pria’ di atasnya. Di sanalah pemuda itu mengambil air wudhunya yang mungkin sudah batal sejak matahari terbit.

Begitu ia masuk ke dalam, debu-debu berloncatan menyambutnya dari sela-sela karpet yang terinjak oleh kakinya. Karpet berwarna hijau bergambar masjid itu tampak lebih kusam karena telah ribuan kali dicuci dan disikat. Di deret pertama karpet dari tempat imam itulah ia melihat ada seenggok daging yang nampak seperti tak bernyawa. Baju dan peci putih kusam nampak seperti kain kafan yang membalut badannya.

Baru saja pemuda itu melangkahkan kaki ingin mengecek nyawa seonggok daging itu, tiba-tiba seonggok daging itu bergetar. Bergetar perlahan bangkit semakin tinggi sampai kepalanya sejajar dengan mic pengeras suara. Sekejap tangan yang sudah keriput diangkat sejajar dengan telinganya dan keluarlah suara dari dalam mulutnya.

“Allahu Akbar… Allaaahu Akbar…” Suaranya lirih bagai nafas terakhirnya.

Pemuda itu menjawab azan lalu menunggu bagian azan selanjutnya. Namun, bagian itu tidak kunjung datang karena disela oleh batuk selama semenit. Begitulah azan disela batuk itu berlangsung hingga azan tersebut berakhir.

Tak lama setelah azan selesai berkumandang, masuklah ke dalam masjid segerombol pria berkemeja rapih. Nampaknya banyak pekerja kantoran yang langsung datang ke masjid karena di bulan ini mereka tidak dapat makan di siang hari. Dihampirilah mereka oleh si pemuda.

“Permisi, maaf saya mengganggu. Saya hanya ingin bertanya, tidak adakah diantara bapak-bapak ini yang berkenan menggantikan kakek tua itu mengumandangkan azan di lain waktu?”

 “Tidak, maaf dik, kami sudah sibuk di kantor.” Jawab salah seorang dari mereka tanpa menoleh ke pemuda itu.

Dengan penuh kekecewaan, pemuda ini memimpin shalat zuhur setelah tidak ada yang mau maju di antara pria berkemeja itu.

Setelah selesai shalat zuhur, pemuda ini tak segera keluar dari masjid. Ia menunggu dan terus menunggu hingga tergelincirlah matahari di ufuk barat. Tidak ada yang datang kembali hingga seonggok daging itu bangkit kembali mengumandangkan azan.

“Allahu…” Kali ini azan si kakek terpotong batuk tiap satu kata. Suaranya sudah hampir tak terdengar dan azan selesai tanpa disadari oleh si pemuda.

Bukan pria berseragam yang kali ini datang memasuki masjid, tapi anak-anak kecil yang nampaknya belum menamatkan Sekolah Dasar.

“Nak… Nak…? Ada yang sudah bisa azan belum?” Tanya si pemuda setelah dengan susah payah mengumpulkan anak-anak itu.

“Ini Kak, dia bisa Kak. Dia bisa.” Jawab anak-anak itu berbarengan sambil saling menunjuk satu sama lain.

Ia menyerah dan langsung berinisiatif menjadi imam tanpa bertanya lagi kali ini kepada jamaahnya. Tidak mungkin ia menawarkan anak-anak yang masih mengobrol saat shalat dimulai untuk menjadi imam.

Ia menunggu lagi setelah shalat ashar usai. Anak-anak yang tadi menjadi makmumnya langsung bubar tanpa menunggu zikir selesai. Mereka kini berlarian mengitari masjid menunggu waktu berbuka sambil bermain.

Seperti tadi, tidak ada yang datang kembali hingga matahari mulai terbenam. Tapi, si kakek tidak langsung bangkit kali ini. Ia mengayunkan tangannya ke arah pemuda yang langsung bergegas menghampirinya.

“Gantikan saya Nak, waktu saya sudah habis.” Pinta kakek sambil menyerahkan alat pengeras suara kepada si pemuda.

“Tapi saya tidak selamanya di sini Kek.”

“Tidak ada yang selamanya berada di sini.” Jawab si kakek menutup permintaannya.

Akhirnya si pemuda menyanggupi permintaan kakek itu. Di awal hari hijriah yang baru ia kumandangkan azan dengan lebih bersemangat dengan suara yang lebih nyaring hingga terdengar belasan kilo jauhnya dari masjid. Selang azan maghrib berakhir, datanglah jamaah yang lebih banyak dibanding sebelumnya. Seketika itu, debu-debu yang tadi menyambutnya tersapu banyaknya kaki jamaah yang datang. Di situlah ia sadar, perubahan yang besar baru akan datang apabila pemuda mau bergerak dan merubah segalanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.