“Kemenangan Semu: Apa Benar Kita Menang?”

Oleh Juan Antonio Cedric

(Kepala Departemen Salam Palestine and International Center Salam UI 21)

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr: 1-3).

Ikhwah, pada saat saya menulis tulisan ini, Ramadhan 1438 sudah menginjak hari ke-27 yang berarti sebantar lagi “tamu” mulia ini akan pergi. Menandai berakhirnya Ramadhan, gema takbir berkumandang di mana-mana, kartu ucapan beserta hadiah mulai berdatangan, “kemenangan” menjadi tema sentral yang di angkat dalam perayaan yang menandai perpisahan kita dengan bulan Ramadhan ini. Namun, pernahkah kita bertanya mengenai kemenangan ini? Menang dari siapa? Menang atas apa?

Ikhwah, Sadarkah kita, apabila Ramadhan diibaratkan sebagai sebuah perguruan tinggi, 1 Syawal hanyalah merupakan episode wisuda. Syawal hanya menandai akhir dari fase pembelajaran kita, tidak lantas memberi kita dampak dari apa yang kita pelajari. Dampak-dampak kebaikan yang kita pelajari selama tiga puluh–atau 29 hari, tergantung hasil sidang itsbat nanti–memerlukan waktu untuk dirasakan.

Ketika selama Ramadhan kita berlomba-lomba memasang target ibadah untuk diri kita, entah itu target tilawah, salat malam, ber-infaq, itikaf, dan target ibadah lainnya, berusaha sungguh-sungguh untuk menahan nafsu untuk misuh, berkata rafats (jorok), ngrasani, berbuat maksiat yang tujuannya untuk memelihara kesempurnaan puasa kita, semua dilakukan untuk mendulang pahala di bulan Ramadhan, jangan sampai begitu Syawal datang kita tanggalkan semu kebiasaan baik yang sudah kita bentuk ketika Ramadhan.

Jangan sampai datangnya Syawal menjadi momen yang memberikan legitimasi untuk kita tunduk pada nafsu dan upadaya setan. Jangan sampai datangnya Syawal membuat kita meninggalkan kepribadian saleh yang telah terbentuk selama Ramadhan. Jangan sampai datangnya Syawal menumbuhkan kembali kebiasaan-kebiasaan jelek yang berhasil kita redam di saat bulan Ramadhan. Sebab sesungguhnya Ramadhan merupakan momen transformasi diri, momen untuk memupuk kebiasaan baik dan menghilangkan kebiasaan buruk, momen perubahan bagi kita, ummat Muhammad, untuk menjadi pribadi yang lebih terinternalisasi dengan nilai-nilai Islam.

Sesungguhnya medan juang kita dalam menggapai kemenangan Ramadhan adalah sebelas bulan lainnya. Jangan sampai seusai Ramadhan, target tilawah menurun drastis, belum tentu dalam satu bulan kita bisa men-khatam-kan al-Quran (padahal Rasul memerintah Abdullah bin Amr untuk men-khatam-kan al-Quran dalam sebulan). Jangan sampai seusai Ramadhan, keikutsertaan kita dalam salat berjamaah di masjid menjadi jarang-jarang. Jangan sampai seusai Ramadhan, salat malam yang menjadi titik terdekat hamba dengan rabb-nya ditinggalkan. Jangan sampai seusai Ramadhan, aktivitas ngrasani kian kencang, bicara dusta sudah tak jadi masalah, berkata rafats jadi bumbu dalam tiap percakapan. Jangan sampai.

Dengan perginya Ramadhan, harapannya ibadah kita di bulan-bulan yang akan datang minimal seperti di bulan Ramadhan, bahkan seharusnya lebih meningkat. Kemenangan adalah keberhasilan menghadirkan kebaikan-kebaikan Ramadhan di bulan-bulan lainnya. Kemenangan adalah keberhasilan untuk istiqamah beribadah hingga datang Ramadhan berikutnya. Kemenangan adalah keberhasilan mentransformasi diri kita menjadi diri yang lebih baik sesuai nilai-nilai keislaman.

Kalau Syawal menjadi momen yang membuat kita merasa longgar untuk taat kepada Allah ﷻ maka kita harus mempertanyakan bagaimana kita menjalani bulan Ramadhan, patut kita refleksikan apa saja yang sudah kita pelajari di bulan Ramadhan? apakah amal-amal segunung itu memang murni untuk Allah ﷻ, ataukah hanya sekadar ikut-ikutan hype-nya Ramadhan? Jangan-jangan kita termasuk orang yang merugi sebab tidak mendapatkan ampunan-Nya setelah Ramadhan berlalu?

Apabila kita tidak menemukan satupun ciri-ciri kemenangan di atas pada diri kita seusai Ramadhan, maka kita patut bertanya, “kemenangan apa yang kita rayakan?” Jangan-jangan, makna kemenangan yang kita rayakan hanyalah kemenangan semu belaka? Bukankah kemenangan semu itu adalah penghibur bagi orang yang kalah?
Ikhwwah, ketahuilah bahwasanya ukuran kesuksesan seseorang dalam menjalankan bulan Ramadhan adalah ke-istiqamah-an dalam menjalankan ibadah setelah bulan Ramadhan. Jangan sampai kita menjadi golongan yang celaka sebab penurunan kualitas dan kuantitas ibadah setelah Ramadhan. Marilah kita berdoa kepada Allah ﷻ supaya Ia menjadikan kita sebagai orang-orang yang beruntung, orang-orang yang bisa mempertahankan bahkan meningkatkan ibadah kita pasca-Ramadhan ini.

Mempertahankan memang lebih sulit dibandingkan meraih. Meningkatkan lebih sulit lagi dibanding mempertahankan. Tetapi sulit bukan berarti tidak bisa kan?

Semoga tulisan ini bisa menjadi nasehat untuk kita semua.

Wassalam, Akhukum Fillah
Juan Antonio.

Satu pemikiran pada ““Kemenangan Semu: Apa Benar Kita Menang?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.