Penulis : Haidar Zuhdi
Delapan bulan sejak hadirnya virus Covid-19 di Indonesia menimbulkan dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek dan sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Berbicara mengenai permasalahan yang ditimbulkan akibat pandemi, membuat kita merasa sedih ketika melihat saudara-saudara kita yang mengalaminya. Selama pandemi mungkin saja ada masa di mana seseorang merasa hidupnya sangat terpuruk. Contohnya kehilangan pekerjaan akibat efisiensi karyawan, kehilangan orang yang disayangi akibat terpapar virus corona, bahkan kehilangan kebebasan untuk berinteraksi dengan teman-teman merupakan hal sulit yang harus dijalani bagi orang yang memiliki tingkat kontinum ekstraversion[1] yang tinggi. Hal ini tentunya berdampak terhadap kesehatan mental individu. WHO (2020) melaporkan bahwa dengan adanya pandemi, individu kemungkinan akan mengalami gejala psikosis[2], kecemasan, trauma, pemikiran untuk bunuh diri, dan panic attack. Maka dari itu, hadirnya virus ini menuntut kita untuk senantiasa beradaptasi, meng-update informasi, dan menguatkan diri sendiri. Work from home atau PJJ a.k.a Pendidikan Jarak Jauh terpaksa kita lakukan demi beradaptasi di era pandemi. Anjuran pemerintah seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M) juga insyaallah sudah kita terapkan ke kehidupan kita saat ini. Beberapa adaptasi yang sudah kita lakukan di atas patut diapresiasi, mengingat kita tak kunjung tahu kapan pandemi ini berhenti.
Ikhtiar yang sudah dilakukan pemerintah dan kita sendiri soal menjaga kesehatan fisik tentunya tidak boleh berhenti sampai sini. Allah berfirman dalam Q.S Ra’d ayat 11 yang berbunyi :
إِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Berikhtiar adalah wajib. Maka barangsiapa mau berikhtiar, ikhtiarnya akan dicatat sebagai ibadah. Jika ikhtiarnya membuahkan hasil, maka setidaknya ia akan mendapat 2 (dua) keuntungan. Pertama, ia akan memperoleh pahala dari Allah. Kedua, ia akan mendapat keberhasilan atau manfaat dari apa yang telah ia usahakan. Tetapi jika ikhtiarnya belum berhasil, maka setidaknya ia akan mendapat pahala dari Allah. Jika ia sabar, maka ia akan mendapatkan pahala yang berlipat.
Selain waktu pandemi yang kita tak tahu kapan redanya, usaha yang dilakukan tampaknya tidak cukup hanya mematuhi protokol saja, usaha untuk menjaga kesehatan mental diri sendiri juga penting rasanya. Bagaimana tidak, dengan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat kita tidak saling bertemu dan berinteraksi dengan teman-teman kita selama 8 bulan lamanya. Selain itu, permasalahan adaptasi sistem pembelajaran baru ini cukup menghabiskan banyak tenaga. adaptasi ini menuntut kita untuk menatap layar laptop kurang lebih selama 3-9 jam per hari. Alih-alih ingin beristirahat seusai kelas, justru kita disambut dengan hadirnya tugas-tugas yang tak kunjung henti. Tak lupa juga, salah satu perhatian yang tidak bisa kita lupakan adalah hadirnya berita-berita negatif yang sering kita konsumsi sehari-hari, secara tidak sadar hal tersebut juga membuat tingkat kecemasan dan stres kita meningkat. WHO (2020) menyatakan bahwa orang yang sering mengikuti berita tentang Covid-19 mengalami tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar berita yang dipublikasikan tentang Covid-19 sangat menyedihkan. Terkadang berita tersebut dikaitkan dengan rumor yang belum pasti, hal itulah yang menyebabkan tingkat kecemasan seseorang meningkat ketika terus-menerus terpapar berita Covid-19 (Moghanibashi, 2020). Ditambah lagi dengan informasi yang salah dan laporan palsu tentang Covid-19 dapat memperburuk gejala depresi pada masyarakat umum (Zhou, et.al, 2020)
Berbagai permasalahan yang muncul sekarang membuat manusia harus memiliki ketahanan yang kuat dalam menghadapi situasi sulit saat ini. Dalam ilmu psikologi, terdapat istilah yang dinamakan resiliensi. Resiliensi merupakan proses beradaptasi dengan baik dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman, atau sumber stres yang signifikan. (Southwick et al, 2014). Resiliensi ini bukanlah suatu konsep yang dikotomis dalam artian tidak ada orang yang sepenuhnya resilien dan orang yang sepenuhnya tidak resilien, namun tingkat resiliensi itu bervariasi sesuai dengan jenis stressor, konteks, dan faktor-faktor apa yang menyebabkannya (Rutter, 2012). Beberapa orang mungkin akan tahan dan bisa beradaptasi meskipun diterpa banyak permasalahan, namun ada beberapa orang yang tidak bisa bertahan meskipun hanya diterpa sedikit masalah. Resiliensi juga diartikan sebagai semacam ‘vaksin’ yang secara positif meningkatkan kesehatan. Seseorang yang memiliki tingkat resiliensi yang rendah tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kesulitan layaknya orang yang memiliki tingkat resiliensi yang tinggi (Rahman et al, 2020). Situasi pandemi menuntut kita untuk selalu bertahan dan beradaptasi sehingga diperlukan berbagai macam ikhtiar dan cara untuk membangun atau meningkatkan resiliensi kita sebagai individu muslim.
Sebelum melangkah lebih jauh, salah satu bagian penting dalam membangun resiliensi adalah fleksibilitas dan menerima keadaan (Cherry, 2019). Individu akan lebih baik dalam merespons masalah jika individu tersebut bisa belajar untuk mudah beradaptasi dengan perubahan. Individu yang resilien biasanya menjadikan momen sulit sebagai kesempatan untuk dapat mengembangkan dirinya. Pastikan kamu menerima keadaan yang terjadi saat ini bahwasannya kejadian Pandemi Covid-19 ini adalah salah satu rencana Allah yang sudah dituliskan di Lauhul Mahfudz. Oleh karena itu, memperbanyak ibadah, sabar dan ikhlas menjalankan ujian dari Allah akan mengangkat derajat seorang muslim jika melakukannya dengan penuh keikhlasan. It’s Okay to not be okay, ingatlah bahwasannya Allah bersama orang-orang yang sedang dalam ujian.
Ada beberapa strategi meningkatkan resiliensi yang bisa dilakukan sebagai pribadi muslim, yang pertama adalah menemukan social support yang kuat. Adanya PSBB membuat kita memang terpisah dari jarak dan waktu, namun hadirnya teknologi saat ini memudahkan kita untuk selalu terhubung antara satu sama lain. Adanya PSBB mungkin efektif untuk meminimalkan penyebaran virus secara fisik, namun adanya jarak sosial dan isolasi diri ditetapkan sebagai risk factor[3] munculnya masalah kesehatan mental (Holmes et al., 2020). Beberapa cara dapat diimplementasikan sesimpel menanyakan kabar, saling menyemangati, dan saling menyediakan pertolongan kepada teman. Hal ini didukung oleh penelitian Zhang & Ma (2020) menyatakan bahwa peningkatan social support yang dirasakan individu dapat mengurangi efek dari isolasi diri dan pembatasan secara sosial (Zhang & Ma, 2020). Allah berfirman dalam QS. Hujurat ayat 10 bahwasannya “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takut lah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”. Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk selalu memperbaiki hubungan dengan saudara-saudara kita dalam situasi dan kondisi apapun.
Strategi kedua adalah mengurangi kegiatan yang akan memicu stress dan memperbanyak aktivitas positif merupakan hal yang mesti dilakukan agar dapat membangun resiliensi kita. Hadirnya media sosial membuat informasi sangat mudah didapatkan, dengan media sosial terkadang membuat kita mengalami information overload [4]. ditambah lagi dengan informasi hoax yang membuat kita bingung untuk mengetahui sebenarnya mana informasi yang tepat untuk dipercaya. Mengeliminasi sumber-sumber berita yang akan menimbulkan kecemasan dan memperbanyak berita positif menjadi salah satu strategi penting untuk menyeimbangkan asupan berita yang kita konsumsi. Selain itu, media sosial turut menyumbangkan masalah baru bagi individu pada umumnya, sering kali kita temukan sebuah ajakan menjadi seorang yang produktif saat masa pandemi, hal itu adalah ajakan yang baik karena diharapkan kita dapat berfungsi normal seperti biasanya, namun terkadang banyak orang yang justru membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, yang pada akhirnya, jika dia tidak tahu batas kemampuan dirinya sendiri, orang tersebut akan merasa kurang dan tidak puas.
Terakhir, yang diperlukan sebagai seorang muslim adalah tawakkal dan optimis. berdasarkan QS. Ali Imran (3): 159, dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan beribadah sepenuh hati kepada Allah Taala, menyerahkan segala ikhtiar dan hasilnya kepada qadha dan qadar (takdir)-Nya. Setelah berikhtiar dan bertawakal, bahwa ikhtiarnya akan mencapai hasil yang diharapkan, sehat walafiyat, dilindungi dan diselamatkan dari Covid-19. Selain itu penting juga untuk memiliki rasa penuh harap atau optimisme yang tinggi saat masa pandemi. Imam al-Ghazali (w. 505/1111) dalam Ihyâ’ (Juz IV: 139), mendefinisikan: ”Optimisme (ar-rajâ’) adalah tenteramnya hati (tidak panik) menanti sesuatu yang disenangi; tetapi sesuatu yang disenangi itu mesti butuh sebab (ikhtiar): jika penantian untuk keberhasilan ikhtiar yang dilakukan secara maksimal, maka itulah optimisme sejati.” Optimisme adalah media berbuat taat dan berprasangka baik kepada Allah Yang Maha Pengasih. Dalam konteks pandemi Covid-19, bersikap optimis bahwa dengan ikhtiar dan tawakal maksimal pandemi ini bisa dihadapi dengan baik, dan segera berlalu.
Referensi
Al Qurán
Ab Rahman, Z., Kashim, M. I. A. M., Mohd Noor, A. Y., Che Zarrina Saari, A. Z. H., Abdul Rahim Ridzuan, A. R. R., & Hanizah Mohd Yusoff, W. H. K. (2020). Critical review of positive behavior and resilience in islamic perspective during the COVID 19 pandemic. Journal of Critical Reviews, 7(5), 1117-1125.
Cherry, K. (2019. April 07). Use These 10 Tips to Improve Your Resilience. Diakses dari https://www.verywellmind.com/ways-to-become-more-resilient-2795063 pada tanggal 19 Mei 2019.
Havnen, A., Anyan, F., Hjemdal, O., Solem, S., Gurigard Riksfjord, M., & Hagen, K. (2020). Resilience Moderates Negative Outcome from Stress During the COVID-19 Pandemic: A Moderated-Mediation Approach. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(18), 6461.
Holmes, E. A., O’Connor, R. C., Perry, V. H., Tracey, I., Wessely, S., Arseneault, L., … & Ford, T. (2020). Multidisciplinary research priorities for the COVID-19 pandemic: a call for action for mental health science. The Lancet Psychiatry.
Jabbar, A, A (2020. Juni 12) Tiga Kewajiban Bersama dalam Masa Pandemi Covid-19. Diakses dari Madaninews.id/11602/tiga-kewajiban-bersama-dalam-masa-pandemi-covid-19.html pada tanggal 30 Oktober 2020
Masten, A. S., & Obradovic, J. (2008). Disaster preparation and recovery: Lessons from research on resilience in human development. Ecology and society, 13(1)..
Moghanibashi-Mansourieh, A. (2020). Assessing the anxiety level of Iranian general population during COVID-19 outbreak. Asian journal of psychiatry, 102076.
Rutter, M. (2012). Resilience as a dynamic concept. Development and Psychopathology, 24, 335–344.
Southwick, S. M., Bonanno, G. A., Masten, A. S., Panter-Brick, C., & Yehuda, R. (2014). Resilience definitions, theory, and challenges: interdisciplinary perspectives. European journal of psychotraumatology, 5(1), 25338.
World Health Organization. (2020). Mental health and psychosocial considerations during the COVID-19 outbreak, 18 March 2020 (No. WHO/2019-nCoV/MentalHealth/2020.1). World Health Organization.
Zhang, Y., & Ma, Z. F. (2020). Impact of the COVID-19 pandemic on mental health and quality of life among local residents in Liaoning Province, China: A cross-sectional study. International journal of environmental research and public health, 17(7), 2381.
Zhou, S. J., Zhang, L. G., Wang, L. L., Guo, Z. C., Wang, J. Q., Chen, J. C., … & Chen, J. X. (2020). Prevalence and socio-demographic correlates of psychological health problems in Chinese adolescents during the outbreak of COVID-19. European Child & Adolescent Psychiatry, 1-10
Catatan Kaki
[1] Sikap yang dibedakan sebagai pengeluaran energi psikis keluar sehingga seseorang berorientasi pada tujuan dan menjauhi sikap subjektivitas. Ekstraversion lebih dipengaruhi oleh lingkungan mereka daripada inner world mereka.
[2] Suatu kondisi abnormal dari pikiran yang mengakibatkan kesulitan dalam menentukan mana yang nyata dan tidak nyata.
[3] are characteristics at the biological, psychological, family, community, or cultural level that precede and are associated with a higher likelihood of negative outcomes.
[4] kesulitan dalam memahami suatu isu atau permasalahan secara efektif dan sulit membuat keputusan ketika seseorang memiliki terlalu banyak informasi tentang masalah tersebut.