Oleh: Ahmad Yanis Audi (Ketua Majelis Syuro Salam UI 19)
Kala itu wajahnya tampak merona berseri-seri, menandakan dirinya sangat senang akan tugas yang dibebankan kepadanya itu. Tugas yang mungkin orang lain akan mengerutkan kening dan menolaknya. Bertanggung jawab atas tiga ratus pasukan dengan hanya berbekal sebakul kurma, berjalan sangat jauh untuk melakukan pengintaian terhadap orang-orang Quraisy. Tiadalah alasan yang menggerakkannya selain kecintaannya pada sang kekasih dan semata mengharap keridhaan dari-Nya. Memang, sudah terkenal di benak semua orang bahwa rasa cintanya pada lelaki pembawa risalah itu jauh melebihi rasa cintanya pada dirinya sendiri, ya, itulah cinta Abu Ubaidah bin Jarrah pada Rasulullah Muhammad SAW.
Al-Faruq Umar bin Khattab, semoga Allah merahmatinya, ia punya kisahnya sendiri. Suatu waktu di majelis itu Umar berkata, “Aku berharap Allah ‘azza wa jalla memenuhi ruangan ini dengan orang-orang seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, sehingga aku bisa mengirimnya berjihad di jalan Allah”. Umar berharap Islam akan tegak di dunia ini. Umar berharap Islam bisa tersebar seluas-luasnya. Umar berharap ada orang-orang yang akan menegakkan dan menyebarkan Islam, meninggikan agama ini. Umar, dengan rasa cintanya, mengharapkan ada orang-orang yang akan berada di jalan ini, di jalan dakwah, menebarkan cinta dan cahaya Islam ke segenap penjuru alam.
Sahabat, semua ini tentang cinta. Ini tentang cinta. Kalau bukan karena cinta, tidak mungkin agama ini sampai pada kita. Kalau bukan karena cinta, tidak mungkin Abu Ubaidah rela melewati perjalanan berat untuk menjalankan perintah rasul-Nya. Kalau bukan karena cinta, tidak mungkin Umar rela mempertaruhkan nyawa demi tersebarnya Islam di masa kekhalifahannya. Kalau bukan karena cinta, tidak mungkin Rasulullah memikirkan umatnya menjelang wafatnya. Sahabat, sungguh, kalau bukan karena cinta, tidak mungkin dakwah ini sampai pada kita.
Ingatlah ketika dulu dakwah ini sampai pada kita. Dia sampai bukan sebagai amanah, dia mencerahkan. Ketika dulu kita tidak mengerti siapa dan untuk apa kita hidup, dakwah mengajarkan kita menjadi seseorang yang hidup untuk orang lain. Ketika dulu kita tidak tahu harus kemana saat sedih, dakwah mengajarkan kita untuk selalu mengingat-Nya. Ketika dulu kita selalu mengeluh atas takdir-Nya. dakwah mengajarkan kita untuk ikhlas pada setiap ketentuan-Nya. Ketika dulu kita merasa sebagai sosok yang lemah, dakwah mengajarkan kita untuk berjuang sehingga menjadikan diri ini diri yang kuat. Dakwah itu cinta, dakwah mengajari banyak hal.
“Katakanlah (Muhammad), inilah jalanku (agamaku), aku dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik” – (Q.S Yusuf : 108)
Dakwah adalah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan orang-orang yang mengikutinya. Dakwah adalah tentang kecintaan dan kesungguhan kerja guna mendatangkan manfaat serta kebaikan bagi manusia. Dakwah sampai kepada kita dengan membawa limpahan kebaikan. Dakwah sampai kepada kita bukan sebagai amanah, dia mencerahkan.
Sahabat, “aku ingin jadi orang baik”, pernahkah kau berkata demikian? Aku pernah. Pernahkah dalam hatimu kau merasa ada teman yang kau sangat inginkan dia untuk berada bersama denganmu di jalan kebaikan ini? Pernahkah kau merasa senang ketika mendengar kabar kalau temanmu kini sudah bisa shalat? Saudara perempuanmu kini berhijab. Ibumu, ayahmu, mereka kini bisa mengaji. Pernahkah kau membayangkan keluargamu, lingkunganmu, orang-orang di negerimu ini, semuanya dipenuhi dengan senyuman, semuanya saling sapa, semuanya saling mengasihi. Negeri dengan orang-orang yang dalam hatinya dipenuhi dengan kecintaan pada syariat-Nya. Itu karena dakwah, karena kecintaan terhadap dakwah.
Sahabat, untuk itulah dakwah. Begitulah dakwah mengajarkan kita. Dakwah bukan sekedar tentang kewajiban, dakwah bukan tentang kisah-kisah kesengsaraan apalagi keserakahan pada kekuasaan dunia. Dakwah adalah tentang cinta, mengambil cinta di langit dan menyebarkannya ke bumi.
Jika kau merasa dakwah ini begitu berharga bagimu, tidakkah kau ingin orang lain merasakannya pula? Kalau iya, maka sampaikahlah padanya, bersamalah dengan dakwah. Yakinlah dengan jalan ini, bergabunglah disini, kuatlah disini. Kemudian bertebaranlah, sampaikanlah cahaya yang sampai padamu itu pada tiap orang yang kau jumpai. Kalau belum tergerak hatimu untuk bersama disini, ingatlah bahwa kapanpun kamu mau, kau bisa pulang kesini, kau bisa bertemu dengan teman-temanmu disini. Dan saat itu, ingatkanlah aku jikalau nanti dalam perjalananku justru aku mengecewakanmu. Ingatkan aku ketika aku hendak meninggalkanmu di jalan dakwah. Sahabat, kita bertemu dalam dakwah, dan semoga kita bisa bersama dalam dakwah.
Dan semoga Ramadhan ini jadi Ramadahnnya para da’i, Ramadhan penuh cinta dan dakwah. Ramadhan ketika sebanyak-banyak orang berbuat kebaikan dan mengajak pada kebaikan.
“Jika bersama dakwah saja kau serapuh itu, bagaimana mungkin jika seorang diri? Sekuat apa kau jika seorang diri?” – K.H Rahmat Abdullah
Dokumen dapat diunduh di bawah ini.