Ditulis Oleh: Balqis Khalisa
“Hei, kau pendatang baru di sini?” Sebuah piring mewah gompal menyapaku. Aku taksir harganya tak kurang dari lima ratus ribu rupiah saat pertama kali dibeli. Sayangnya, ia gompal. Pemiliknya tak akan mau memakainya lagi. Ia lebih terlihat sebagai piring sepuluh ribu rupiah yang dibeli di pasar loak sekarang.
“Oh, halo. Kenalkan namaku Kemanusiaan. Sebenarnya sudah cukup lama aku menghuni tempat ini. Hanya baru keluar saja, Kawan. Ingin melihat-lihat sebentar.” Aku menjawab malas. Aku yakin pertanyaannya takkan berhenti di situ.
“Kemanusiaan? Aneh sekali namamu. Kenalkan aku Sadi. Ini kawanku Bira. Kami sudah menghuni tempat ini selama kurang lebih dua tahun.” Sebuah mangkok –yang juga gompal—ikut bergabung dalam percakapan. Benar ‘kan apa kataku. Pertanyaan-pertanyaan ini akan merentet panjang sekali. Itulah sebabnya aku jarang keluar.
“Bentukmu juga tak kalah aneh. Abstrak. Lihat Sadi, dia berbentuk cekung, dengan sedikit undakan di bawah, ia adalah mangkok, Bira adalah piring, dan aku, Vay, adalah sebuah vas bunga. Kau ini apa, Kawan?” Belum sempat aku menjawab, benda lain sudah ikut bergabung. Mempertanyakan hal lain lagi. Sungguh, jika Tuhan berkenan, aku ingin menghilang saja dari muka bumi ini. Sayangnya Dia tidak.
“Kalian adalah barang rongsokan, begitu pula aku. Aku juga barang rongsokan. Itulah mengapa aku ada di sini.” Aku memicingkan mata. Berusaha menunjukkan ekspresi sebal. Gagal. Mereka tetap begitu tertarik melanjutkan percakapan.
“Barang rongsokan hanyalah titel tambahan, kawan. Ayolah, selama ini aku belum pernah melihat benda sepertimu. Kau ini siapa?” Peserta percakapan malam itu bertambah lagi. Kali ini sebuah cangkir teh. Di antara yang lain, ia terlihat paling layak berada di sini.
“Karena aku memang bukan benda, aku adalah nilai, aku adalah sifat. Namaku Kemanusiaan karena aku memang hakikatnya adalah sebuah,” aku terdiam sejenak, bingung hendak melanjutkan apa, “kemanusiaan.” Persis seperti yang ada dipikiranku. Lihatlah, keempat benda ini serempak menganga, menunjukkan ekspresi bingung.
“Sebentar, ada yang aneh. Jadi kamu adalah sebuah nilai?” Tanya Bira yang disambut dengan anggukanku. “Dan kamu adalah ke-manusia-an?” Ia kembali bertanya, dan sekali lagi daguku bergerak naik turun. “Ke-MANUSIA-an? Manusia? MA-NU-SI-A?” Aku kembali mengangguk. Selang beberapa detik, riuh tawa terdengar. Gantian aku yang kebingungan. Apa yang sedang mereka tertawakan?
“Sungguh, ini lelucon terbaik sepanjang masa, Kawan. Sampaikan sekali lagi padaku agar kami yakin kau tak sedang bercanda.” Perintah Sadi yang masih setengah tertawa. Aku mengulang kata-kataku. Menjelaskan kembali siapa aku. Sungguh, ini bukan respon yang aku harapkan. Mereka kembali tertawa terbahak-bahak. Sekali lagi aku memasang ekspresi bingungku. Berharap salah satu dari mereka menyadari bahwa otakku bertanya-tanya tentang hal yang telah terjadi.
“Begini kawan. Lihatlah, aku, Bira, Vay, dan Kir ada di sini berkat siapa? Manusia. Mereka yang mengantarkan kami ke tempat kumuh, jelek, kotor, dan sumpek ini. Dan sekarang di depan kami semua ada kau. Sebuah nilai yang membawa nama ‘Manusia’. Bagaimana bisa kau ada di sini?” Sadi nampaknya menangkap kode yang aku lemparkan.
“Sungguh? Kalian sungguh ingin tau asal muasal keberadaanku di sini?” Aku masih terheran dengan segala yang terjadi. Pertanyaanku disambut dengan anggukan mantap dari keempat benda itu. Aku menghela napas panjang, menarik kursi, dan bersiap menceritakan segalanya.
“Ribuan tahun silam, sebelum mata uang ditemukan, aku tumbuh sangat subur. Aku begitu gemuk, bentukku yang abstrak ini menguasai seluruh dunia. Ketika si A hendak panen, si B akan dengan sukarela membantu. Ketika si C hendak melancong melintas benua, si D dengan senang hati membantu mempersiapkan segalanya. Ketika si E butuh bahan pangan, si F dengan sukacita mengajaknya makan siang. Sungguh, sebelum mata uang ditemukan, aku menghiasi kehidupan di seluruh muka bumi. Mereka hidup tenang tanpa memperebutkan apa-apa.
Ribuan tahun silam, ketika manusia masih bersahabat dengan alam, aku bebas melanglangbuana ke seluruh dunia. Manusia disibukkan dengan kegiatan menyenangkan. Mereka menangkap ikan yang sudah besar, sehingga ikan-ikan kecil bisa tetap berkembang biak. Jika hendak panen, mereka tidak mencabut hingga ke akarnya, sehingga pohon-pohon bisa tumbuh lagi. Mereka paham betul bahwa manusia adalah bagian dari alam. Mereka mengerti bahwa sumber daya alam di muka bumi semuanya untuk dibagi.
Suatu hari, seseorang menemukan emas sebagai nilai tukar. Ia begitu bahagia ketika menemukan itu. Berlagak seakan ia pahlawan bagi dunia. Berlagak bahwa ia telah mempermudah sistem perdagangan dunia. Semua orang tertipu dengan lagaknya. Sejak emas resmi ditentukan sebagai nilai tukar, aku mulai kehilangan gizi. Manusia-manusia tak lagi menyadari sifat alamiahnya. Semua barang memiliki harga. Barang yang Tuhan beri secara cuma-cuma, barang yang dengan baik hati hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia, hingga manusia sendiri memiliki harga. Sejak itulah Ia muncul…” Aku menghela nafas sejenak.
“Siapa? Siapa yang muncul?” Bira berseru tak sabaran. Sepintas, aku melihat Sadi menyolek lengan Bira, menyuruhnya untuk diam. Aku menatapnya sejenak, berusaha menahan segala emosi, kembali menghela nafas, dan meneruskan cerita.
“Namanya Tamak. Ia bagai parasit bagiku. Ia mengambil sedikit demi sedikit bagian tubuhku untuk ia berkembang biak. Dalam waktu singkat, Ia berhasil tumbuh subur. Ia berhasil melakukan ekspansi ke seluruh dunia dalam waktu yang sangat singkat. Dulu, ia hanya menghinggapi orang-orang yang memang hatinya kotor. Sehingga, aku masih punya celah untuk menggerayangi Sebagian manusia. Kini, ia nampaknya sudah berani menghinggapi semua orang. Dari yang tinggal di kerajaan sampai yang tinggal di gang sempit tak bertuan.
Aku tau, aku sadar, aku paham, bahwa aku memang menyandang nama ‘manusia’, sudah sepatutnya aku mengikuti bagaimana sifat manusia. Namun, aku tak mau. Aku tak sudi mengotori fitrah yang telah Tuhan buat. Aku yakin masih ada manusia yang memiliki ‘kemanusiaan’ sebagaimana mestinya. Aku yakin Tamak tak bisa secepat itu menguasai miliaran manusia di bumi. Kemanusiaan masih sifat baik. Entah seberapa bobroknya manusia, aku meyakini bahwa kemanusiaan membawa hal yang baik, bukan hal yang buruk.
Tetapi, inilah harga yang harus aku bayar. Inilah apa yang manusia lakukan kepadaku. Aku harus ada di sini. Bersama tumpukan barang rongsokan lainnya. Benar, kalian memang diantarkan ke sini oleh manusia. Begitu pula aku. Manusia beramai-ramai membawaku ke sini. Tinggal bersama barang-barang yang sudah tak layak pakai. Ya, bagi mereka, itulah aku sekarang. Barang rongsokan.” Aku terdiam. Kemarahan meledak-ledak di dalam diriku. Aku kembali menarik nafas panjang.
“Ssstt.. kalian mau lihat sesuatu yang menarik?” Aku berusaha memecah keheningan. Sadi, Bira, Vey, dan Kir serentak mengangguk. Aku tersenyum dan bergegas menarik lengan mereka. Memperlihatkan mereka ke etalase yang terpajang indah. “Kau lihat itu? Itu namanya Tamak, Sombong, Rakus, dan Serakah. Sama abstraknya denganku. Mereka yang kini dipuja-puja oleh manusia.”
Sadi, Bira, Vey, dan Kir menelan ludah. Sungguh, dunia tidak sedang baik-baik saja.